Panduan Singkat Ekonomi Syariah Islam


Thursday, September 10, 2015

Bai’ al-Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture)



Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.

Landasan Syariah:

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.

Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.


Istishna’ Paralel

Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.

Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:

a.        Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada.

b.      Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama akad.

c.       Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

 
Back To Top